Belum pernah ada, rasanya, peluang  sebesar dan seluas yang ditawarkan bisnis digital. Cobalah Anda  bayangkan sendiri. Saat ini, praktis semua lahan bisnis tersentuh  penerapan teknologi informasi (TI). Dari yang kelas raksasa (seperti  industri pertambangan, perbankan, dan raja-raja consumer goods) hingga bisnis kecil-kecilan (para perajin patung kayu dan pembuat sirup rumahan, misalnya).
Seiring  dengan tumbuhnya kesadaran para pelaku bisnis akan krusialnya penerapan  TI untuk kepentingan bisnis, jasa dan produk berbasis TI sebagai  pendukung dan penopangnya pun semakin marak. Tren inilah yang kemudian  memicu sekaligus memacu lahirnya wirausaha-wirausaha baru di bisnis  digital yang kini biasa disebut digital entrepreneur atau (disingkat) digitalpreneur.  Merekalah orang-orang yang cekatan menunggangi gelombang perubahan  lanskap bisnis yang berkembang amat cepat selama beberapa tahun  terakhir.
Memang, belakangan, semakin banyak wirausaha baru yang bisa hidup dan besar dari bisnis TI. SWA,  misalnya, pernah menampilkan sosok Tjendra Kosim, pemilik dan dirut PT  ExcelSoft Dynasys, yang berhasil mengembangkan aplikasi akuntansi dan payroll.  Bermodalkan Rp 30 juta, mantan konsultan di KPMG ini membangun bisnis  TI sendiri dan sekarang berkantor di Wisma Kosgoro. Sudah 500-an  perusahaan yang menggunakan software keluaran ExcelSoft Dynasys, termasuk perusahaan besar seperti Coca-cola, BAT Indonesia, Rio Tinto, Harian Bisnis Indonesia, dan beberapa perusahaan di lingkungan Grup Lippo
Contoh  lainnya adalah John Sihar, pemilik PT Pentakom Megajasa Sarana, yang  sukses berbisnis TI dengan menyasar klien sekelas PT Elnusa. Pernah juga  ditampilkan sosok Abimanyu Wachjoewidajat, pemilik software house untuk aplikasi berbasis SMS, dengan mengibarkan PT Inovasi Mitra Solusindo. Tentu masih banyak lagi sosok digitalpreneur sukses yang pernah ditampilkan SWA.
Sementara itu, melesatnya jumlah pelanggan operator telepon seluler di negeri ini juga berandil besar mempercepat lahirnya para digitalpreneur  baru. Lihatlah, Telkomsel, yang pada 2007 baru mempunyai sekitar 48  juta pelanggan, kini telah menembus 100 juta pelanggan. Demikian juga  Indosat dan XL yang masing-masing kini berhasil meraup sekitar 40 juta  pelanggan. Hampir semua provider  dan operator telekomunikasi di Indonesia mengakui bahwa 40%-60% trafik  Internet didominasi Facebook. Bahkan, dengan jumlah pengguna sekitar 30  juta, Indonesia kini menempati deretan negara yang terbanyak menambah  pengguna Facebook di dunia. Selain Facebook, situs lain yang laris di  Indonesia adalah blogger.com, Wordpress.com dan kaskus.us. Semua situs  laris ini, yang menarik, ternyata sekadar wadah, sementara kontennya  semua di-generate oleh pengguna Internet, bukan pengelola situs.
Nah, dari  situs-situs pertemanan dan komunitas itulah terbuka peluang untuk  berbisnis dengan cara yang mudah, praktis, bahkan gratis. Sembari  sekadar ngobrol, seseorang dapat menawarkan solusi, menempelkan produk di wall atau  catatan di Facebook. Tentu saja, di samping situs pertemanan ini, ada  situs-situs komersial yang memang fokus pada kegiatan perdagangan  seperti kaskus.us forum jual-beli dan bekas.com yang ramai trafik dan  transaksinya. 
Pemacu lain merebaknya digitalpreneur, tentu saja, pesatnya pertambahan pengguna gadget dan terus berkembangnya TI. Sekarang, misalnya, berkembang banyak sekali framework (bahasa pemrograman) yang kian murah (bahkan gratis), simpel dan canggih. Lihat pula, pesatnya perkembangan teknologi mobile  dan media sosial (Facebook, Twitter, iPhone, BlackBerry, Nokia, Plurk,  dan sebagainya). Nun di sebelahnya, para vendor besar pun sigap memberi  dukungan dana, misalnya Telkom lewat Ventura Capital dan Microsoft  melalui jejaring ISV-nya.
Duit yang berputar di bisnis digital ini pun bukan main-main. Sekadar contoh, pernahkan Anda bayangkan berapa nilai bisnis mobile content  di Indonesia saat ini? Untuk konten musik digital saja kini  diperkirakan mencapai Rp 600 miliar. Di Telkomsel, misalnya, tercatat  pengguna aktif download fulltrack berbayar sebanyak 50 ribu-60 ribu pengguna. Secara total, pada 2009, nilai bisnis layanan konten seluler dan fixed wireless access telah menembus Rp 7 triliun. Ini artinya, ada jatah 30% buat digitalpreneur yang menggeluti bisnis mobile content.
Jadi, tunggu apa lagi? Pasar dan industri digital, seperti terlukis di atas, tumbuh amat  mengesankan. Bukan sebatas saat ini, tetapi justru sangat prospektif di  masa depan. Pada saat bersamaan, lihatlah, kini banyak bertumbuhan digitalpreneur ataupun para genius lokal sebagai strartup entrepreneur yang hebat dan potensial. “Spesies-spesies” istimewa ini umumnya mengawali bisnis mereka semata berbekal visi, passion dan, tentu saja,  otak yang cemerlang. Banyak dari mereka yang kini mulai terbuka dan siap diajak bermitra. 
Bagi para pemilik dana di negeri ini, jangan  sia-siakan momentum ini. Sebab, seperti yang sudah terjadi pada  beberapa kasus, para pemodal asinglah yang ternyata jauh lebih sigap  mengendus dan menyantap peluang sedap ini. Sudah menjadi rahasia umum,  seperti emerging markets lainnya, Indonesia pun kini berada dalam radar para venture capital  global. Sekadar pengetahuan, 18% dari PDB Amerika Serikat kini  disumbang oleh perusahaan yang didukung modal ventura semacam Microsoft,  Cisco, Compaq dan Google.
Anda tahu kan maksudnya? Betul: jangan sampai kelak Anda cuma bisa gigit jari dan — parahnya — menyalahkan keadaan. Source: Harmanto Edi Djatmiko


 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar